Masih ada kesan di masyarakat bahwa rumah sakit (RS) masih memberlakukan pelayanan berbeda pada pasien pemegang kartu Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN - KIS) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Anggapan masyarakat, berobat ke RS dengan menggunakan kartu JKN-KIS sangat ribet. Antrian yang lama, tidak diterima untuk dirawat di RS dengan alasan kamar sudah penuh, pemberian obat yang murah, dan sebagainya masih lekat di benak sebagaian peserta.
Intinya, oleh fasilitas kesehatan, pasien JKN-KIS dianggap warga negara kelas dua ketimbang pasien umum yang dianggap mendapat pelayanan lebih baik.
"Namanya juga gratis. Jadi yah jangan terlalu banyak menuntut," begitu biasanya anggapan awam mengenai mitos pembedaan layanan JKN-KIS. Namun, apakah benar demikian adanya? Apakah benar bahwa pasien umum adalah anak emas yang harus mendapatkan pengobatan lebih baik ketimbang pasien BPJS Kesehatan yang dianggap seperti anak tiri?
Yang jelas, anggapan awam bahwa berobat dengan menggunakan kartu JKN-KIS adalah gratis adalah salah besar. Pasalnya, dana program JKN-KIS sebagian besar berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Artinya pengguna kartu JKN-KIS juga membayar terhadap layanan yang diberikan. Bedanya adalah, dan tersebut dikelola oleh BPJS Kesehatan, dan biaya pengobatan berasal dari iuran peserta lain yang tidak sakit. Dengan demikian, ada konsep gotong royong dalam program JKN-KIS.
Mengenai keluhan panjangnya antrian, memang harus diakui hal tersebut masih terjadi di sejumlah RS. Begitu pula dengan masalah ketersedian kamar. Namun, antrian dan soal keterbatasan kamar bukan berarti peserta JKN-KIS dibedakan dengan pasien umum.
Antrian pasien JKN-KIS terlihat lebih panjang ketimbang loket pasien umum, tentunya lebih disebabkan oleh pasien yang berobat menggunakan kartu JKN-KIS lebih banyak dari pasien umum. Guna mengatasi itu, BPJS Kesehatan telah meluncurkan sistem bridging. Sistem ini mengandalkan koneksi melalui software antara BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehatan guna mempersingkat proses administrasi.
Berkenaan dengan penuhnya kamar, sejatinya ini juga dialami oleh pasien umum. Jika kamar memang penuh, memang tidak ada yang bisa dilakukan oleh RS kecuali pasien mengalami kondisi darurat. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah membentuk sistem jaringan antar RS untuk saling memberi informasi ketersediaan kamar.
Adapun perbedaan yang jelas ada antar pelayanan hanyalah di bidang kenyamanan tetapi tidak pengobatan. Pasien yang memilih kelas VIP tentunya akan mendapatkan fasilitas lebih nyaman di kelas III karena dia sudah mengeluarkan biaya lebih untuk membeli kenyamanan tersebut. Tetapi layanan pengobatan yang diberikan antara kelas III dengan VIP sejatinya tetap sama.
Jika pasien BPJS Kesehatan membutuhkan tindakan operasi, tentunya RS wajib melakukan tanpa harus meminta biaya dari pasien maupun keluarga. Pembayaran obat juga tidak dibebankan kepada peserta.
Perbedaan pengobatan juga tidak terdapat pada layanan di kelas I, II atau III. Ketika rawat inap, sebagian orang mungkin mengira perbedaan ruang perawatan seperti kelas I, II dan III mempengaruhi kualitas pelayanan dan manfaat yang bakal diterima masyarakat. Padahal anggapan itu tidak berlaku karena pelayanan kesehatan atau medis yang diberikan kepada peserta tidak melihat kelas perawatannya.
Misalnya, peserta menderita usus buntu. Ketika dilakukan operasi dan perlu dijahit maka tidak mungkin peserta yang mengambil kelas I, II dan III dibedakan kualitas jahitannya.
Begitu pula dengan biaya tambahan yang dikenakan kepada peserta ketika mendapat palayanan. Biaya tambahan bisa terjadi bila peserta bersangkutan meminta sendiri tambahan pelayanan. Misalnya, setelah dioperasi, pasien meminta obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang didera seperti vitamin. Jika atas kemauan sendiri, peserta harus membayar biaya tambahan.
Selain itu, tidak ada plafon atau batas biaya tertinggi yang dijamin oleh BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan melalui kapitasi dan INA-CBG. Tentu saja tarif yang tercantum dalam paket INA-CBG untuk kelas I dan II lebih tinggi dibanding kelas III.
Dari paparan di atas, sudah jelas bahwa tida ada atau tidak dibenarkan adanya pembedaan layanan medis yang diberikan pada pasien JKN-KIS. Kendati demikian, memang harus diakui masih ada sejumlah permasalahan teknis, seperti lamanya antrian, dan lain - lain yang secara bertahap juga harus dibenahi.
0 Comments